Secara fitrah, manusia
adalah makhluk yang serba terbatas (relativismus uber alles). Keserbaterbatasan
manusia ini telah cukup mengantarkan manusia pada situasi dimana ia senantiasa
membutuhkan (dan bergantung pada) Zat Yang Tak Terbatas alias Yang Maha Mutlak
(Absolutismus uber alles); Dialah Tuhan sebagai The Ultimate Reality (Realitas
Tertinggi, Wâjib al-Wujûd); Dialah Allah SWT. Secara fitrah pula,
manusia dianugerahi oleh Allah SWT. naluri untuk beragama atau religiusitas (gharîzah
at-tadayyun), yang merupakan sesuatu yang sudah built-in dalam dirinya,
bahkan sejak sebelum kelahirannya ke alam dunia. Naluri ini telah cukup
mendorong manusia untuk melakukan pemujaan terhadap apa yang dianggapnya
sebagai The Ultimate Reality (Realitas Tertinggi) itu.
Sayang, dua kenyataan primordial (fitri) ini tidak serta-merta menjadikan manusia “tahu diri”; entah karena mereka tidak berpikir rasional (tidak menggunakan akal) atau karena mereka terlalu percaya diri akibat hegemoni hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Pada saat ini, ketidaktahudirian manusia itu tercermin dalam dua sikap:
Pengingkaran secara
total (sepenuh hati) terhadap eksistensi Tuhan sang Pencipta (ateisme). Ini
tergambar pada manusia yang berpaham materialisme. Materialisme ini kemudian
menjadi dasar pijakan ideologi Sosialisme-komunis.
Pengingkaran secara
“setengah hati” terhadap eksistensi Tuhan. Ini tergambar pada manusia yang
berpaham sekularisme, yakni yang mengakui keberadaan Tuhan, tetapi tidak
otoritas-Nya untuk mengatur manusia, karena yang dianggap punya otoritas untuk
mengatur manusia adalah manusia sendiri. Sekularisme ini kemudian menjadi
landasan ideologi Kapitalisme-sekular.
Padahal,
alhamdulillah, dengan kasih-sayang-Nya, Allah SWT. telah lama (jauh sebelum
kelahiran ideologi Sosialisme-komunis dan Kapitalisme-sekular) menurunkan
wahyu-Nya kepada manusia untuk membimbing manusia kembali pada fitrahnya,
kembali pada jatidirinya yang asli, yakni sebagai makhluk yang serba terbatas
dan memiliki (secara built-in) religiusitas dalam dirinya. Wahyu itu tidak lain
adalah Islam, yang akidahnya mengajari manusia untuk meyakini secara total dan
sepenuh hati eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur kehidupan
manusia. Akidah inilah yang kemudian menjadi basis ideologi Islam sebagai
satu-satunya ideologi yang rasional dan sesuai dengan fitrah manusia.
Tulisan berikut tidak
lain ingin membuktikan kembali “klaim” di atas (yakni bahwa hanya Islamlah
satu-satunya ideologi rasional dan sesuai dengan fitrah manusia) dengan cara
membandingkan ketiga ideologi di atas, yakni Sosialisme-komunis,
Kapitalisme-sekular, dan Islam; melalui perspektif yang paling mendasar:
akidah.
Realitas Ideologi
Secara umum, ideologi
(Arab: mabda’) adalah pemikiran paling asasi yang melahirkan (sekaligus menjadi
landasan bagi) pemikiran-pemikiran lain yang menjadi turunannya. (M. Muhammad
Ismail, 1958). Pemikiran mendasar dari ideologi ini dapat disebut sebagai
akidah (’aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1) materialisme; (2)
sekularisme; (3) Islam.
Akidah ini berisi
pemikiran mondial dan global mengenai manusia, alam semesta, dan kehidupan
dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan dunia; berikut
kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M.
Husain Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran
cabang yang berisi seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus
mengelola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya (politik, ekonomi, sosial,
budaya, pendidikan, dan sebagainya). Akidah dan seluruh cabang pemikiran yang
lahir dari akidah itulah yang disebut dengan ideologi. Dengan ungkapan yang
lebih spesifik, ideologi (mabda’) dapat didefinisikan sebagai keyakinan
rasional (yang bersifat mendasar, pen.) yang melahirkan sistem atau seperangkat
peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22).
Pada kenyataannya, di
dunia saat ini hanya ada tiga ideologi: (1) Sosialisme-komunis, yang lahir dari
akidah materialisme; (2) Kapitalisme-sekular, yang lahir dari akidah
sekularisme; (3) Islam, yang lahir dari akidah Islam.
Realitas Akidah
Materialisme, Sekularisme, dan Islam
[1] Materialisme
Materialisme adalah
akidah yang memandang bahwa alam semesta, manusia, dan kehidupan merupakan
materi belaka; materi ini mengalami evolusi dengan sendirinya secara subtansial
sehingga tidak ada Pencipta (Khalik) dan yang dicipta (makhluk). Dalam
perspektif Karl Marx, peletak dasar ideologi Sosialisme-komunis, alam mengalami
evolusi mengikuti hukum gerak materi; alam tidak membutuhkan Akal Holistik
(Pencipta) (Ghanim Abduh, 2003: 3). Senada dengan Marx, Lenin, ideolog
sekaligus realisator Marxisme, dengan mengutip filosof Heraclitus (540-480 SM),
menyatakan, “Alam adalah wujud tunggal yang tidak pernah diciptakan oleh Tuhan
atau manusia manapun. Ia telah ada, selalu ada, dan akan selalu ada sebagai api
yang terus menyala selama-lamanya.” (Vladimir Ilich, 1870-1924).
Oleh karena itu,
penganut akidah materialisme pada dasarnya adalah ateis (mengingkari Tuhan).
Bahkan, penganut akidah ini memandang bahwa keyakinan terhadap Tuhan (agama)
adalah berbahaya bagi kehidupan. Dalam bahasa Lenin, keyakinan terhadap agama
adalah “candu” masyarakat dan “minuman keras” spiritual. Dalam manifesto
politiknya, Lenin secara ekstrem menyebut agama sebagai salah satu bentuk penindasan
spiritual yang, dimana pun ia berada, amat membebani masyarakat (Lenin, 1972:
83-87).
Pengingkaran terhadap
eksistensi Tuhan ini kemudian melahirkan sebuah keyakinan, bahwa dunia ini
harus diatur berdasarkan prinsip dialektika materialisme yang melibatkan semua
unsur materi, yakni: manusia, alam, dan sarana kehidupan (alat-alat produksi).
Dari sini muncullah ideologi Sosialisme-komunis, yang didasarkan pada akidah
materialisme, yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia; tentu di luar aspek religiusitas dan spiritualitas
manusia yang telah diingkarinya.
[2] Sekularisme
Sekularisme pada
dasarnya adalah akidah yang mengakui eksistensi Tuhan, tetapi tidak
otoritas-Nya untuk mengatur manusia. Dengan kata lain, akidah ini mengakui
keberadaan agama tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur kehidupan. Singkatnya,
sekularisme adalah akidah yang menetralkan (baca: memisahkan) agama dari
kehidupan.
Secara historis,
sekularisme merupakan akidah “jalan tengah” yang lahir pada Abad Pertengahan,
sebagai bentuk kompromi para pemuka agama yang menghendaki kehidupan manusia
harus tunduk pada otoritas mereka (dengan mengatasnamakan agama), dengan para
filosof dan cendekiawan yang menolak otoritas agama dan dominasi para pemuka
agama dalam kehidupan. Dengan demikian, para penganut sekularisme sebetulnya
tidak mengingkari Tuhan (agama) secara mutlak; mereka hanya menginginkan agar
Tuhan (agama) tidak mengatur kehidupan mereka.
Pengingkaran terhadap
otoritas Tuhan ini selanjutnya melahirkan sebuah pandangan bahwa manusialah
(melalui mekanisme demokrasi) yang berwenang secara mutlak untuk mengatur
kehidupannya sendiri secara bebas, tanpa campur tangan Tuhan (agama). Dari sini
lahirlah ideologi Kapitalisme-sekular, yang berisi seperangkat aturan yang
khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia; tentu di luar aspek agama
yang telah mereka singkirkan dari kehidupan.
[3] Islam
Islam adalah akidah
yang meyakini eksistensi Tuhan sebagai Pencipta alam, manusia, dan kehidupan ini;
sekaligus mengakui bahwa Dialah satu-satunya yang memiliki otoritas untuk
mengatur kehidupan manusia. Singkatnya, akidah Islam mengajari manusia tentang
keyakinan dan kepasrahan total kepada Tuhan sang Pencipta, yakni Allah SWT.
Keyakinan terhadap eksistensi
sekaligus otoritas Tuhan inilah yang kemudian melahirkan keyakinan bahwa
Tuhanlah satu-satunya Yang mutlak dan berhak membuat hukum, sementara manusia
hanya sekadar pelaksananya saja. Dari sini lahirlah ideologi Islam, yang juga
berisi seperangkat aturan dalam berbagai aspek kehidupan manusia; termasuk yang
menyangkut aspek religiusitas dan spiritualitas manusia, atau yang menyangkut
agama.
Menimbang Ideologi
Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam
Dari paparan di atas,
manakah akidah/ideologi yang masuk akal (rasional) dan sesuai dengan fitrah
manusia? Jawabannya adalah sebagai berikut:
[1]
Sosialisme-Komunis
Dalam perspektif
rasio, dengan mengingkari eksistensi sang Pencipta, ideologi ini jelas tidak
rasional. Alasannya: (a) Seluruh materi yang ada di dunia ini, termasuk
manusia, memiliki keterbatasan dan bergantung pada yang lain. Akal kita yang
jujur akan mengakui, bahwa segala yang terbatas ini pasti membutuhkan Zat Yang
Tak Terbatas. Itulah Pencipta, Tuhan. (b) Manusia dan alam semesta memiliki
keseimbangan, keteraturan, harmoni, dan keindahan yang luar biasa; yang semua
itu tidak mungkin terjadi serba kebetulan tanpa ada Zat Yang menciptakan dan
mengendalikannya.
Adapun secara fitrah,
ideologi ini jelas bertentangan dengan kenyataan bahwa dalam diri manusia ada
naluri beragama (religiusitas), yang mendorongnya selalu cenderung untuk
melakukan pengagungan/pemujaan kepada Zat Yang lebih tinggi dari dirinya; baik
mereka akui atau tidak; baik yang mereka agungkan itu Tuhan Yang sebenarnya
atau “Tuhan” palsu. Pada faktanya, orang-orang ateis hanya mengalihkan
pengagungan itu (yang seharusnya kepada Tuhan) menjadi kepada manusia.
[2]
Kapitalisme-Sekular
Dalam tinjauan nalar,
pengakuan terhadap eksistensi Tuhan tetapi tidak otoritasnya untuk mengatur
manusia adalah juga tidak rasional. Alasannya: (a) Pengingkaran atas otoritas
itu telah melahirkan sikap manusia untuk membuat sendiri aturan bagi
kehidupannya. Padahal manusia, sebagai makhluk, pada faktanya tidak bisa
memahami hakikat dirinya sendiri. Yang tahu hakikat manusia adalah
Pencipta-Nya, yakni Allah SWT. Apabila manusia tidak memahami hakikat dirinya
sendiri, apalagi membuat aturan yang terbaik bagi dirinya. (b) Tuhan (dalam hal
ini Allah SWT.) telah menurunkan wahyu-Nya, yakni al-Quran, melalui utusan
(Rasul)-Nya untuk mengatur kehidupan manusia. Secara rasional, al-Quran dapat
dibuktikan kebenarannya sebagai wahyu Allah. Karena itu, menjauhkan otoritas
Tuhan Yang Mahatahu untuk mengatur kehidupan manusia adalah tidak rasional.
Adapun secara fitrah,
manusia, ketika dibiarkan bebas membuat sendiri peraturan bagi kehidupannya,
terbukti melahirkan banyak perbedaan, pertentangan, bahkan konflik. Peraturan
yang dibuat juga sering berubah-ubah sesuai dengan kecenderungan dan hawa nafsu
manusia. Lebih dari itu, fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang
dibuat manusia (karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa nafsunya)
telah melahirkan banyak ekses negatif, menciptakan banyak kerusakan, dan
menimbulkan banyak kekacauan. Itulah yang terjadi seperti saat ini ketika hak
membuat aturan/hukum diberikan kepada rakyat melalui mekanisme demokrasi.
[3] Islam
Dalam perspektif akal,
pengakuan terhadap eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur
kehidupan manusia adalah rasional. Alasannya: (a) Pada faktanya, di samping
akal dapat membuktikan secara benar bahwa Tuhan sang Pencipta, yakni Allah SWT.
itu ada, akal pun dapat membuktikan bahwa Dia telah menurunkan wahyu-Nya berupa
al-Quran kepada Rasul-Nya, yang kebenarannya sebagai wahyu bisa dibuktikan
secara rasional. Di dalam al-Quran sendiri tidak akan ditemukan adanya
pertentangan antar satu ayat dengan ayat lain, atau antar satu aturan dengan
aturan lain, yang menunjukkan bahwa ia berasal dari Zat Yang Mahakuasa. (b)
Sepanjang aturan-aturan al-Quran diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan
manusia, terbukti bahwa ia mendatangkan rahmat bagi umat manusia seluruhnya.
Ini adalah fakta sejarah yang pernah terjadi dan berjalan selama-berabad-abad
sejak zaman Nabi saw. mendirikan Daulah Islamiyah di Madinah hingga keruntuhan
Kekhilafahan Islam terakhir di Turki, yang diawali oleh banyaknya penyimpangan
terhadap al-Quran yang dilakukan penguasa.
Adapun secara fitrah,
pengakuan atas eksistensi Tuhan sekaligus otoritas-Nya untuk mengatur manusia
sesuai dengan fitrah manusia yang serba terbatas, serba kurang, dan serba
lemah; yang menjadikannya butuh pada yang lain. Keserbaterbatasan,
keserbakurangan, dan keserbalemahan manusia ini pada faktanya membuktikan bahwa
manusia membutuhkan berbagai peraturan bagi kehidupannya yang tidak berasal
dari dirinya, tetapi bersumber dari al-Khalik, Tuhan Pencipta alam.
Kesimpulan
Walhasil, dari paparan
di atas, secara nalar (rasio, akal) maupun fitrah, juga berdasarkan realitas
sejarah manusia, terbukti bahwa hanya Islamlah satu-satunya ideologi yang
rasional dan sesuai dengan fitrah manusia. Sebaliknya, Sosialisme-komunis dan
Kapitalisme-sekular adalah ideologi yang tidak rasional dan bertentangan dengan
fitrah manusia; di samping terbukti dalam sejarah telah menimbulkan banyak
ekses negatif, kerusakan, dan kekacauan.
Sudah selayaknya kaum
Muslim segera meninggalkan berbagai aturan yang berasal dari ideologi
Sosialisme-komunis maupun Kapitalisme-sekular, yang nyata-nyata bertentangan
dengan fitrah manusia, dan terbukti banyak menyengsarakan kehidupan umat
manusia. Keengganan manusia untuk diatur dengan aturan-aturan Allah hanyalah
merupakan bukti kesombongan, kelancangan, dan kekurangajaran dirinya di hadapan
Penciptanya, Allah SWT., Zat Yang Mahatahu atas segala sesuatu. Jika kita tetap
bertahan untuk berkubang dalam aturan-aturan buatan manusia dan tetap enggan diatur
dengan aturan-aturan Allah, layaklah kita merenungkan kembali firman Allah SWT.
berikut:
“Apakah hukum Jahiliah
yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi
orang-orang yang yakin?!” (QS al-Maidah [5]: 50).
Ya, sekali ini kita
patut merenungkan: Adakah hukum/aturan yang lebih baik dibandingkan dengan
hukum/aturan-aturan Allah?! Apakah hukum/aturan-aturan yang berasal dari
ideologi Sosialisme-komunis dan Kapitalisme-sekular (yang notabene buatan
manusia yang serba terbatas, serba kurang, dan serba lemah) yang lebih baik
ataukah hukum/aturan-aturan Islam yang notabene buatan Allah Pencipta manusia
Yang Mahatahu atas segala sesuatu?!
Lalu mengapa kita
tetap betah berkubang dalam sistem/aturan yang berasal dari Kapitalisme-sekular
yang terbukti buruk ini dan tidak segera beranjak menuju sistem/aturan yang
bersumber dari ideologi Islam sebagai ideologi penebar rahmat?! Telah butakah
mata dan kalbu kita?! Na‘ûdzu billah mindzâlik!
sumber: kompasiana.com
sumber: kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar