Dilihat dari
asal-usulnya, istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang
artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad 18 M, istilah ini
terkait erat dengan konsep manusia merdeka, baik merdeka semenjak lahir ataupun
merdeka sesudah dibebaskan dari yang semula berstatus ‘budak’.[1]
Para sejarawan Barat biasanya menunjuk moto revolusi Perancis 1789—kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Sebuah prinsip yang menyatakan bahwa tunduk kepada otoritas—apapun namanya—adalah bertentangan dengan hak azasi, kebebasan dan harga diri manusia. Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad 15 M oleh Locke, Hume (Inggris), Rousseau, Diderot (Perancis), Lessing dan Kant (Jerman) ini pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Dalam catatan Syamsuddin Arif, ideologi liberalisme yang kebablasan tersebut pada akhirnya menganjarkan tiga hal: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thingking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama.[2]
Para sejarawan Barat biasanya menunjuk moto revolusi Perancis 1789—kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Sebuah prinsip yang menyatakan bahwa tunduk kepada otoritas—apapun namanya—adalah bertentangan dengan hak azasi, kebebasan dan harga diri manusia. Liberalisme yang sudah dikampanyekan sejak abad 15 M oleh Locke, Hume (Inggris), Rousseau, Diderot (Perancis), Lessing dan Kant (Jerman) ini pada tahap selanjutnya menuntut kebebasan individu yang seluas-luasnya, menolak klaim pemegang otoritas Tuhan, dan menuntut penghapusan hak-hak istimewa gereja maupun raja. Dalam catatan Syamsuddin Arif, ideologi liberalisme yang kebablasan tersebut pada akhirnya menganjarkan tiga hal: pertama, kebebasan berpikir tanpa batas alias free thingking. Kedua, senantiasa meragukan dan menolak kebenaran alias sophisme. Ketiga, sikap longgar dan semena-mena dalam beragama.[2]
Menurut Adian Husaini, munculnya liberalisme yang seperti itu di Barat tidak terkepas dari tiga faktor. Pertama, trauma sejarah, khususnya yang behubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan. Dalam perjalanan sejarahnya, peradaban Barat (western civilization) telah mengalami masa yang pahit, yang mereka sebut ‘zaman kegelapan’ (the medieval ages). Mereka menyebutnya juga sebagai ‘zaman pertengahan’ (the medieval ages). Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada tahun 476 dan mulai munculnya Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat. Gereja yang mengklaim sebagai institusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi.
Kedua, problem teks Bible. Masyarakat Krsiten Barat menghadapi problem otentisitas teks dengan kitabnya. Perjanjian Lama (Hebrew Bible) sampai saat ini tidak diketahui siapa penulisnya. Padahal tidak ada satu ayat pun yang menyebutkan bahwa Moses penulisnya. Sementara itu di dalam teksnya terdapat banyak kontradiksi. Demikian halnya dengan Perjanjian Baru (The New Testament). Ada dua problem terkait dengan keberadaannya, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yng orginal saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini bermacam-macam, berbeda satu dengan yang lainnya. Tidak kurang dari sekitar 5000 manuskrip teks Bible dalam bahasa Greek (Yunani), yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Ketiga, problem teologi Kristen. Sebuah kenyataan di Barat yang sulit dielakkan adalah, Tuhan menjadi sesuatu yang problem. Menjelaskan bahwa Tuhan itu 1 dalam 3, 3 dalam 1, dan menjelaskan apa sebenarnya hakikat Yesus, telah membuat seorang cendekiawan seperti Dr. C. Greonen Ofm “lelah” dan “menyerah”. Ia lalu sampai pada kesimpulan bahwa Yesus memang misterius.[3]
Dari latar belakang seperti itu maka tidak heran jika kemudian masyarakat Barat cenderung beragama tanpa berkeyakinan. Dalam artian, mereka beragama Kristen tapi mereka kemudian tidak sepenuhnya meyakini doktrin-doktrin Kristen. Mereka meragukan eksistensi Tuhan yang bisa mengetahui segala sesuatu, doktrin Trinitas, dan Bible sebagai wahyu Tuhan. Akibatnya mereka menerima secara mutlak pemisahan Gereja dan Negara, dan mempercayai penuh doktrin kebebasan dan toleransi agama. Kebebasan yang juga termasuk kebebasan untuk tidak beragama dan toleransi yang sampai meyakini kebenaran agama lain atau pluralisme agama.[4]
Dari penjelasan di atas, tanpa mengerutkan dahi pun, kita semua tentu paham bahwa Liberal adalah ideologi yang lahir dari rahim Barat-Kristen. Ia bukan berasal dari Islam, dan sudah tentu akan bertentangan dengan Islam. Pandangan bahwa manusia memiliki hak azasi yang bebas dari setiap otoritas sangat bertentangan dengan Islam yang mengajarkan manusia untuk memegang teguh norma-norma Ilahi yang telah dijelaskan-Nya lewat Al-Qur’an dan Sunnah, berdasarkan panduan para ulama terpercaya. Dari sejak awal sampai sekarang bisa dipastikan tidak seorang muslim pun—kecuali yang Liberal—yang merasa bahkan meyakini bahwa dirinya terkekang oleh Allah, para Nabi, atau oleh para ulama. Yang ada justru sebaliknya, mereka sangat merindukan panduan dari para ulama tentang ajaran Allah dan Rasul-nya yang tersaji dalam Al-Qur’an dan Sunnah. [*Tulisan ini merupakan pembuka dari tulisan Mengenal Islam Liberal, Oleh: Syamsudin Kadir, Pegiat Kajian dan Study Pemikiran Islam/Cp: 081 804 621 609]
[1] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema Insani Press, 2008, hlm. 76.
[2] Ibid, hlm. 78-79.
[3] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat. Jakarta: Gema Insani Press, 2005, hlm. 28-51.
[4] Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam; Gerakan Bersama Missionaris, Orientalis, dan Kolonilias. Ponorogo: CIOS-ISID, 2007, hlm. 33-35.
sumber: akarsejarah.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar